EKSISTENSI PESANTREN DI ERA MODERNISASI
PENDAHULUAN
Pesantren sebagai cikal bakal sistem pendidikan di Indonesia dengan corak dan karakter yang khas (indegenous) dianggap telah menjadi icon masyarakat pribumi dalam mencanangkan ideologi pendidikan di Indonesia. Nuansa indegenous ini senantiasa melekat dan makin mengukuhkan tradisi pendidikan pribumi yang memiliki tingkat otentisitas yang tidak diragukan lagi.
Eksistensi pesantren terus berlanjut mengiringi peredaran waktu. Di era kolonial, banyak kyai yang menjadi tampuk pimpinan perjuangan Nasional. Pada era kemerdekaan pesantren melahirkan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, dan di era mutakhir, pesantren tidak pernah absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hanya saja, eksistensi seperti ini belumlah cukup untuk menjadikan pesantren sebagai pelopor utama bagi kemajuan bangsa. Di sinilah pentingnya untuk membicarakan bagaimana eksistensi pesantren dalam menghadapi tantangan modernitas yang kompleks. Dalam kondisi demikian, pesantren diharapkan mampu memecahkan beberapa tantangan zaman, yang mengarah pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi. Yang perlu dicatat, pesantren harus dapat secara konsisten menjaga khazanah keilmuan yang telah menjadi tradisi sembari membuka diri dengan bekal baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi.
PEMBAHASAN
1. Pesantren Dalam Lintas Sejarah
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang merupakan sistem pendidikan tertua dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indegenous. Di awal kemunculannya, di Nusantara sekitar abad ke-13 penyelenggaraan pendidikannya berkisar pada pada pendidikan agama Islam an sich. Beberapa abad kemudian, secara perlahan dan terartur bermunculanlah tempat-tempat pengajian (biasa disebut “nggon ngaji”). Seterusnya lebih berkembang lagi dengan didirikannya tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren.[1] Walaupun bentuknya yang masih simpel, pada saat itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap ini dianggap sangat bergengsi. Dilembaga inilah kaum muslim di tanah air medalami dan menghayati doktrin ajaran Islam, khusunya yang terkait dengan implementasi kehidupan keagamaan.[2]
Sejarah awal lahirnya pensantren memiliki misi khusus, antara lain pertama, sebagai wahana kaderisasi ulama yang nantinya diharapkan mampu menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat; kedua, membentuk jiwa santri yang memiliki kualifikasi moral-etik dan religiun; ketiga, menanamkan kesadaran holistik bahwa menuntut ilmu merupakan suatu keharusan dan pengabdian kepada Sang Khaliq, bukan hanya untuk mengejar prestasi dunia semata.[3]
Dari sini dapat dipahami, bahwa meski pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan yang indegenous, namun masih ada kemiripan dengan sistem gurukulla yang terdapat di dataran India. Seyogyanya, gurukulla juga memakai sistem pemondokan (boarding school). Gurukulla juga menjadi tempat pembelajaran kitab-kitab suci agama Hindu seperti juga pesantren sebagai tempat belajar kitab-kitab agama Islam. Hal inilah yang dijadikan oleh sebagaian pengamat dan peneliti sebagai dasar untuk meragukan statement bahwa sistem pesantren tidak dikategorikan menjadi sesuatu yang otentik.
Terjadinya pro dan kontra tentang keotentikan pendidikan pesantren terus berlanjut sampai awal abad ke-20 dimana telah tersebar gagasan tentang sistem madrasah. Keraguan akan ke-idegenious-an pesantren kiranya cukup beralasan apabila kita meneropong sejarah berkembangnya Islam di Indonesia, agama Hindu dan Budha lebih dahulu menyebar. Pada saat Islam masuk, kepercayaan akan animisme dan dinamisme sedang di atas puncaknya. Dan lebih unik lagi, model pendekatan yang dilakukan oleh para Walisongo adalah dengan mengikuti tradisi lokal (kepercayaan, kebathinan, kejawen yang notabene adalah produk ajaran Hindu dan Budha) dalam mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Jawa kala itu.
2. Pesantren dan Tantangan Modernisasi
Secara terang-terangan, sebagian umat Islam menunjukkan antipatinya—ketakutan dan kekhawatiran—dalam merespon modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi berupa pemikiran dan aliran yang dianggap baru yang merambah dunia Islam di segala bidang, tanpa terkecuali juga lingkungan pesantren. Kecendrungan yang kemudian muncul adalah, sikap menutup diri dan berusaha melindungi nilai-nilai luhur agama (taqdis al afkar al diniyah) dan identitas muslim dari pengaruh negatif pemikiran dan aliran baru tersebut. Bahkan ada yang berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau konspirasi terencana untuk mengahncurkan Islam dan identitas kaum muslim.[4]
Sementara di saat yang sama, kita melihat sebagaian dari umat Islam, memiliki kecendrungan yang menerima kehadiran globalisasi. Mereka mengelu-elukan hal tersebut dan menganggap bahwa kelompok penolak adalah komunitas yang bodoh, konservatif dan terbelakang.
Dalam banyak kesempatan, kedua kelompok diatas—yang menolak dan yang menerima—sering kali terlibat dalam perdebatan dan perselisihan panjang tanpa ada solusi yang dapat menjawab permasalahan. Sekalipun dalm perspektif yang berjauhan, keduanya sama-sama menggunakan cara pandang parsial (snape shot) dan tidak mengkaji permasalahan-permasalahan secara objektif dan konprehensif. Idealnya dalam mensikapi hal ini adalah kita tidak mengambil posisi sebagai pendukung dari salah satu kelompok yang bersiteru, akan tetapi berusaha mensikapinya secara kritis.
Jika ditelaah lebih jauh, fenomena keterbukaan ini di satu sisi merupakan sunnatullah dan menjadi sebuah keniscayaan, akan tetapi dipihak lain nampaknya akan menjadi impian semata bagi sebagian pihak mengenai cita-cita keadilan sosial. Era dimana pertimbangan pragmatis dan materialistis menjadi posisi kunci, nilai-nilai moral agama dengan sendirinya dihadapkan pada realitas yang dilematis dan sulit untuk dipungkiri, yakni terjadinya reduksi agama secara besar-besaran. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi keringnya nilai luhur agama dalam pergulatan dinamika ilmu dan teknologi, karena masyarakat industri hanya menempatkan matrealisme dan pragmatisme sebagai cita-cita ideal dalam kehidupannya.
Berikut akan dikemukakan beberapa ilustrasi tentang keadaan pesantren yang menggambarkan ketidakcocokan dengan dunia global. Keadaan itu menyebabkan pesantren legging behind the time atau tidak kurang mampu menjawab tantangan zaman.
- Lingkungan
Sepintas dapat diketahui bahwa lingkungan pesantren merupakan hasil pertumbuhan tak berencana, sekalipun ia menggambarkan pola budaya yang direpresentasikannya. Mari kita telaah satu persatu :
- Pengaturan “tata kota” pesantren yang memiliki ciri khas, yaitu letak masjid, asrama atau pondok, madrasah, kamar mandi dan WC umum, perumahan para ustadz dan bangunan lainnya umumnya sporadis (berpencar-pencar).
- Kamar-kamar asramanya sempit dan juga minim peralatan.
- Jumlah kanar mandi dan WC umum tidak sebanding dengan dengan jumlah santri yang ada (over load).
- Madrasah atau ruang kelas yang digunakan tidak memenuhi syarat metodik-dedaktik.
- Tempat ibadah keadaannya umumnya mengecewakan, kebersihan lantainya kurang terjaga. Hal ini ada hubungannya dengan sistem sanitasi yang kurang memadai, kurangnya sistem penerangan dan beberapa hal lainnya.
- Penghuni/Santri
Suatu hal yang menarik untuk dapat memahami berbagi segi yang merupakan discrepency antara dunia pesantren dengan dunia di luar pesantren dilihat dari sudut para penghuninya. Lebih jelasnya berikut akan di paparkan lebih lanjut.
- Dari segi pakaian : umumnya para santri tidak membedakan mana pakaian utnuk belajar, dalam kamar, keluar pondok, bahkan untuk tidurpun tidak ada perbedaan.
- Dari segi kesehatan : penyakit yang biasanya diasosiasikan dengan para santri adalah penyakit kudis (gudigen dalam bahasa jawanya). Meskipun sekarang sudah jarang kelihatan akan tetapi kondisi yang favourable untuk penyakit kulit masih banyak terdapat di pesantren.
- Tingkah laku : sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan para santri mengidap penyakit rendah diri dalam pergaulan ketika mereka harus bersosialisasi di luar lingkungan pondok.
- Kurikulum
Kurikulum merupakan aspek terpenting dari aspek lainnya. Dalam pengelolaan kurikulum terdapat ketidakcocokan antara pesantren dengan dunia luar.
- Agama : yang termasuk dalam pengertian pelajaran agama biasanya apa saja yang tertulis dan mengandung bahasa Arab. Fiqh merupakan bidang keilmuan yang paling utama, kemudian menyusul Aqaid. Sedangkan Tasawuf salah satu trio dari ilmu-ilmu Islam, hanya merupakan anjuran yang lemah dan diajarkan pada orang-orang tertentu an sich.
- Nahwu-Sharaf : adalah aneh bahwa pelajaran gramatika cenderung untuk dimasukkan ke dalam ilmu agama.
- Pengetahuan umum : barangkali sekarang ini praktis semua pesantren mengajarkan ilmu pengetahuan umum, akan tetapi tampaknya dilaksanakan setengah-setengah, sekedar memenuhi syarat atau agar tidak disebut kolot saja. Hal ini tentunya berimplikasi pada kemampuan santri yang tidak maksimal dalam pengetahuan ilmu-ilmu umum.
- Sistem pengajaran : sistem yang biasanya dipakai dalam pesantren terkenal tidak efisien. Ini desebabkan karena caranya yang unik dan memang khas pesantren. Pemiliham kitab yang tidak relevan, cara membaca kitab dengan terjemahan harfiah dan setersusnya.
- Intelektualisme dan verbalisme : sebetulnya dalam ilmu-ilmu fiqh, aqa’id dan nahwu-sharaf mengandung rasionalisme (dalam fiqh ialah ushul fiqhnya dalam aqa’id ialah mujaadalah kalamiyahnya dan dalam nahwu-sharaf logika i’rab dan tasrifnya). Pengaruh ini berdampak pada tumbuhnya intelektualisme bercampur dengan verbalisme yang terkadang berlebihan (kegemaran santri ialah berdebat sesamanya). Verbalisme didorong oleh kuatnya hafalan, ditambah kurangnya mata pelajaran yang betul-betul rasionalistik seperti ilmu hitung, ilmu alam dan ilmu pasti lainnya. Oleh karenanya santri lebih bersifat reproduktif (mengeluarkan kembali apa yang telah dihafalnyayang tersimpan di otak) tidak bersifat kreatif (menciptakan buah pikiran baru). Mungkin hal inilah yang menyebabkan munculnya dogmatisme dan prinsipalisme yang eksesif manakala mereka terjus ke masyarakat.
- Kepemimpinan
Secara apologetik sering dielu-elukan bahwa kepemimpinan di pesantren adalah demokratis, ikhlas, sukarela dan seterusnya. Mungkin bila dibandingka dengan pola kepemimpinan di sekolah-sekolah kolonial Hindia-Belanda asumsi ini benar. Tetapi bila diukur dengan perkembangan zaman keadaannya akan lain. Klise-klise itu perlu dipertanyakan kembali kebenarannya. Berikut pemaparan tentang pola kepemimpinan kyai.
- Karisma : kenyataannya bahwa pola kepemimpinan seorang kyai adalah pola kepemimpinan karismatik yang secara tidak langsung telah menunjukkan ketidak demokratisannya, sebab tidak rasional. Apalagi jika tindakan itu disertai dengan tindakan-tindakan yang secara sadar maupun tidak bertujuan memelihara larisma itu, seperti prinsip keep distance atau keep aloof (jaga jarak dan keagungan) dari para santri. Pola seperti ini benar-benar kehilangan kualitas demokrasinya.
- Personal : Karena kepemimpinan kyai karismatik, dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau personal. Kenyataan ini mengandung implikasi bahwa seorang kyai tak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan ke bawah (rule of the gamen-nya) administrasi dan manajemen modern.
- Religio-feodalisme : seorang kyai selain menjadi pemimpin agama sekaligus merupakan taraditional mobility dalam masyarakat feodal. Dalam feodalisme yang berbungkus agama ini bila disalahgunakan jauh lebih berbahaya daripada feodalisme biasa. Kyai lebih mampu mengerahkan masa daripada pemimpin feodal biasa, apalagi banyak kyai yang sekaligus membanggakan dirinya sebagai bangsawan.
- Kecakapan teknis atau pengembangan skill : karena dasar kepemimpinannya seperti yang dipaparkan di atas maka hal ini diangap tidak perlu.[5]
Dari telaah di atas dapat disimpulkan bahwa pesantren dan perangkat sistemnya memang dihadapkan pada tantangan zaman yang cukup berat. Jika tidak dapat memberi responsi yang tepat, maka pesantren akan kehilangan relevansinya dan akar-akarnya dalam masyarakat akan tercabut dengan sendirinya. Sungguh ironis bahwa yang lebih dulu menyadari akan hal ini adalah para tokoh pesantren sendiri yang kemudian seolah-olah jera mengirimkan anaknya untuk masuk pesantren. Dapat kita lihat para kyai yang hidup di kota-kota besar yang telah mengalami kenaikan status sosial (melalui jenjang karir politik), mereka lebih mempercayakan anak-anaknya untuk masuk ke sekolah-sekolah umum daripada ke pesantren. Kalu perlu anak-anak mereka dimasukkan ke bidang-bidang paling produktif, seperti ekonomi, kedokteran dan teknik.
Menyikapi hal ini, mau tidak mau pesantren (para pengelolanya) harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengejar ketinggalannya. Parapemangku pondok pesantren dituntut oleh keadaan untuk berpacu melawan waktu. Ada dua hal yang dapat menjadi entery points bagi pesantren untuk berbenah, yaitu pembenahan dari dalam dan pembenahan keluar. Hal yang dapat ditempuh untuk pembenahan dari dalam antara lain :
1. Model kepemimpinan yang legitimet harus dibarengi dengan skill, apabila hal ini tidak dimiliki oleh seorang pimpinan pesantren, maka dapat dipenuhi dengan merekrut orang lain yang dianggap mumpuni dan dipercaya untuk pengelolaan dan pengembangan pesantren (sebagai pimpinan teknis)
2. Perombakan kurikulum yang substansinya mulai memperkenalkan model ilmu pengetahuan dan teknologi yang diselenggarakan secara sungguh-sungguh dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur dari khazanah keilmuan pesantren.
3. Perbaikan infrastruktur atau beragam fasilitas yang mendukung (seperti ruang kelas, masjid, WC umum, kamar tidur dan lainnya) dengan memperhatikan standar kelayakan.
Untuk pembenahan keluar, pesantren diharapkan untuk dapat lebih membuka diri dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang dapat mendukung kelancaran terselenggaranya pendidikan di pesantren.
PENUTUP
Kiprah pesantren dalam lintas sejarah memang tidaklah kita ragukan, akan tetapi untuk tetap dapat mempertahankan eksistensinya di masyarakat agar tetap dapat tumbuh dan berkembang, haruslah ada upaya-upaya agar dapat tetap eksis. Pesantren yang dianggap sebagai lembaga pendidikan yang indegenous merupakan lembaga pendidikan yang menjadi kebanggan bangsa Indonesia, oleh karenanya harus tetap dijaga dan ditumbuh kembangkan, Kemoderenan yang mengiringi dinamika zaman, haruslah dianggap sebagai sebuah keniscayaan, Seyogyanya hal ini tidak perlu ditakuti atau bahkan dihindari dengan menutup diri, seharusnya kita dapat merespon hal ini denganh positif thingking, tentunya dengan melakukan upaya-upaya yang dapat memberikan manfaat bagi perkembangan pesantren itu sendiri agar dapat mengikuti perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Yogyakarta :Lista Fariska Putra, 2004.
Amin Haedari, Masa Depan Pesantren ; Dalam tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta : IRD Press, 2004.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam ; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos, 1999.
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren ; Sebuah potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997.
Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta : Diva Pustaka, 2003.
Yasmadi, Modernisasi Pesantren : Kritikan Nurkholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta : Ciputat Press, 2002.
[1] Ada beberapa pendapat mengenai asal muasal kata “pesantren”, Prof. John berpendapat bahwa kata pesantren berasal dari terma “santri” yang diderivasi dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji. Sementara C.C. Berg berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci. Lain lagi dengan Robson, ia memiliki pendapat berbeda dari keduanya. Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang berarti oarang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum. Sampai saat ini, yang sering dijadikan rujukan oleh para pemerhati dan peneliti pessantren adalah manuskrip jawa kuno, Babad Tanah Jawi. Dalam salah satu bagiannya dijelaskan bahwa pada abad ke-15 Sunan Ampel—sebagai penerus dari garis geneologi Maulana Malik Ibrahim atau yang lebih terkenal dengan sebutan Maulana Maghribi—telah membangun sebuah lembaga pendidikan Islam, yang kemudian diikuti oleh Sunan Giri—Yang berasal dari garis keturunan Maulana Ishak—dan diteruskan oleh sunan-sunan Walisongo lainnya. Upaya tersebut sekaligus membuktikan bahwa peran Walisongo sangat besar dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam model pesantren di Indonesia. Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (Yogyakarta :Lista Fariska Putra, 2004), hal. 5.
[2] Menurut Sartono Kartodirdjo, sampai akhir abad ke-19 atau tepatnya tahun 1860-an jumlah pesantren mengalami peledakan luar biasa, terutama di Jawa yang mencapai jumlah 300 buah. J.A Van der Chijs dalam Report of 1831 on Indegenous Education melaporkan bhawa di Cirebon terdapat 190 buah pesantren dengan jumlah santri sebanyak 2.763, di daerah Pekalongan terdapat 9 pesantren, Kendal 60 pesantren, Demak 7 pesantren dan Grobongan 18 buah. Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2003), hal.2
[3] Ibid. hal.6
[4] Amin Haedari, Masa Depan Pesantren ; Dalam tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), Hal. 67-70.
[5] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren ; Sebuah potret Perjalanan, (Jakarta : Paramadina, 1997), hal. 90-96